Minggu, 07 September 2008

Diskriminasi Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari hubungan antarkelompok terwujud dalam interaksi dengan anggota kelompok lain. Salah satu bentuk perilaku yang banyak ditampilkan dalam hubungan antarkelompok ialah diskriminasi. Diskriminasi (discrimination) menurut Banton adalah perlakuan berbeda terhadap orang yang dikelompokkan dalam kategori khusus. Diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaan dalam kelompok (Sears, Freedman & Peplau, 1999).
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menyaksikan berbagai bentuk diskriminasi yang ditujukan pada anggota berbagai kelompok. Sebagai contoh, Seorang anak Amerika usia remaja bernama Ryan White yang tertular virus HIV melalui transfusi darah sehingga menemui ajalnya pada akhir hayatnya mengalami diskriminasi; ia dilarang bersekolah karena masyarakat khawatir bahwa ia dapat menulari teman-temannya. Para penyandang cacat sering mengalami kesulitan dalam memperoleh pendidikan yang setara dengan pendidikan yang dapat dinikmati anak-anak yang dianggap normal. Para wisatawan asing sering mendapat pelayanan lebih baik dari petugas industri pariwisata seperti petugas hotel, restoran, toko, atau perusahaan pengangkutan daripada wisatawan dalam negeri.

Prasangka dan Diskriminasi:
Dalam pembicaraan sehari-hari istilah prasangka dan diskriminasi sering kali digunakan bergantian. Namun psikolog sosial membedakan keduanya dengan jelas. Keduanya merupakan istilah yang berkaitan. Seseorang yang mempunyai prasangka rasial biasanya bertindak diskriminastif terhadap ras yang diprasangkanya, dan sebaliknya seseorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminastif. Selanjutnya ada perbedaan yaitu prasangka menunjukkan pada sikap sedangkan diskriminatif pada tindakan atau perbuatan.
Namun padahalnya kedua tindakan tersebut dapat merugikan pertumbuhan, perkembangan, dan bahkan integrasi masyarakat. Dari peristiwa kecil yang menyangkut dua orang, dapat meluas dan menjalar melibatkan sepuluh orang, golongan atau wilayah. Prasangka mempunyai dasar pribadi, yang setiap orang memilikinya. Sejak manusia masih kecil, unsur sikap bermusuhan sudah nampak melalui proses belajar dan semaikn besarnya manusia, timbul sikap cenderung untuk membeda-bedakan. Perbedaan yang secara sosial dilaksanakan antara lembaga atau sekelompok dapat menimbulkan prasangka. Kerugian prasangka melalui hubungan pribadi akan menjalar bahkan melembaga (turun-temurun) sehingga tidak mengherankan kalau prasangka ada pada mereka yang cara berfikirnya sederhana dan masyarakat tergolong cendikiawan, sarjana, pemimpin, atau negarawan.

A. Sebab-sebab timbulnya diskriminasi dan prasangka
1. Belatar belakang sejarah
Orang-orang kulit putih di Amerika Serikat berprasangka negatif terhadap orang-orang Negro,
berlatar belakang pada sejarah masa lampau, bahwa orang-orang kulit putih sebagai tuan dan
orang-orang Negro berstatus sebagai budak. Walaupun reputasi dan prestasi orang-orang Negro
cukup dapat dibanggakan, akan tetapi prasangka terhadap orang Negro sebagai biang keladi
kerusuhan dan keonaran belum sirna sampai sekarang ini.
2. Dilatarbelakangi oleh perkembangan sosio-kultural
Prasangka bisa berkembang lebih jauh sebagai akibat adanya jurang pisah antara kelompok
orang-orang kaya dengan golongan orang-orang miskin. Harta kekayaan orang-orang kaya baru, diprasangkai bahwa harta-harta itu didapat dari usaha-usaha yang tidak halal. Antara lain usaha korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat.
3. Bersumber dari faktor kepribadian
Para ahli beranggapan bahwa prasangka lebih dominan disebabkan tipe kepribadian orangorang
tertentu. Tipe authoritarian persoanality adalah sebagai ciri keperibadian seseorang yang
penuh prasangka, dengan ciri-ciri bersifat konservatif dan bersifat tertutup.
4. Berlatar belakang dari perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama


Diskriminasi di Indonesia

Ketika penjajahan Belanda masuk Indonesia sekitar 400 tahun lalu, dinegri ini, antara lain, ada
tiga komunitas masyarakat: masyarakat keraton, masyarakat Timur Asing, dan rakyat biasa. Masyarakat Timur asing saat itu terdiri atas masyarakat India, China, dan Arab. Oleh penjajah Belanda, ketiga komunitas masyarakat itu diberi peran diskriminatif. Masyarakat keraton dijadikan tangan kanan dalam bidang pemerintahan, warga Timur Asing dijadikan tangan kanan di bidang perekonomian, sedangkan mayoritas rakyat biasa dijadikan tenaga kerja paksa untuk kepentingan ekonomi Belanda.
Diskriminasi Sosial pada masa penjajahan Belanda juga terjadi di bidang pendidikan. Untuk kalangan Belanda tersedia sekolah terbaik, menyusul sekolah untuk kalangan bangsawan dan Timur Asing, sedangkan untuk rakyat biasa hanya tersedia sekolah seadanya. Pada jenjang pendidikan dasar, misalnya lama pendidikan pada sekolah untuk anak Belanda sekitar tujuh tahun, untuk golongan bangsawan dan Timur Asing sekitar lima tahun, sedangkan untuk rakyat biasa hanya dua tahun. Karena lama pendidikan berbeda, dengan sendirinya keluasaan dan kedalaman pendidikan yang diperoleh pun berbeda.
Saat ini relatif sama seperti masa penjajahan dahulu, masyarakat dahulu, masyarakat kelas bawah, seperti petani, nelayan, pekerja sektor informal, serta buruh perusahaan, yang merupakan mayoritas warga, praktis tidak memiliki peluang untuk meningkatkan status sosialnya melalui pendidikan. Anak-anak mereka sulit mengenyam pendidikan bermutu karena impitan ekonomi dan biaya pendidikan yang terlampau mahal. Kalaupun mereka dapat mengenyamkan pendidikan, mutu sekolah yang dimasuki jauh di bawah sekolah-sekolah yang dimasuki anak-anak dari kalangan ekonomi menengah keatas. Mereka umumnya sulit mencapau jenjang pendidikan menengah, apalagi pendidikan tinggi. Akibatnya mereka tidak memeiliki cukup bekal akademis untuk bersaing secara adil dengan anak-anak dari kalangan ekonomi menengah keatas dalam memanfaatkan peluang usaha yang tersedia.
Kadang-kadang suatu masyarakat merasa perlu menerapkan suatu bentuk diskriminasi untuk
mengimbangi ketidakadilan yang pernah dialami kelompok masa lalu yaitu suatu kebijaksanaan yang dikenal dengan nama reverse discrimination (diskriminasi terbalik). Kita mengenal berbagai peraturan yang mengatur hubungan antarkelompok. Dimasa penjajahan, khususnya antara kelompok Pribumi dan kelompok Tionghoa. Leo Suryadinata menjabarkan berbagai kebijaksanaan Pemerintah di bidang kebudayaan, politij dan ekonomi. Di bidang kebudayaan diterapkan pengaturan sekolah Tionghoa, pembatasan penggunaan huruf dan bahasaTionghoa, dan pembatasan terhadap agama dan adat-istiadat Tionghoa. Di bidang ekonomi pernah diterapkan kebijaksanaan seperti Sistem Benteng apada tahun 1950 yaitu pemberian perlakuan istimewa bagi importir pribumi dengan alasan melindungi kepentingan nasional dan kepentingan ekonomi lemah –suatu kebijakan yang menurut Suryadianata dirasakan oleh orang Tionghoa sebagai kebijaksanaan diskriminatif. Upaya lain unutk melindungi pribumi muncul pada awal 50-an dalam bentuk Gerakan Assaat. PP10 tahun 1958 yang berisikan laranagan WNA untuk berdagang di pedesaan mengakibatkan sejumlah besar orang Tionghoa berkewarganegaraan asingmeninggalkan desa; sejumlah besar diantara mereka bahkan meninggalkan Indonesia.


Diskriminasi Rasial
Diskriminasi rasial adalah pembedaan sikap dan perlakuan terhadap kelompok masyarakat tertentu dengan berdasarkan warna kulit. Ideologi rasisme yang menganggap bahwa orang kulit putih lebih unggul daripada orang kulit berwarna hitam (white supremacy) antara lain pernah dianut di Amerika Serikat dan di Republik Afrika Selatan. Meskipun kedua negara ini menamakan diri negara demokrasi, namun menurut v.d. Berghe (1967) demokrasi di Amerika Serikat dan di Afrika Selatan di masa lalu merupakan apa yang dinamakannya Herrenvolk democracy (demokrasi bangsa yang lebih unggul). Di kala para perintis kemerdekaan memikirkan demokrasi di Amerika yang mereka maksudkan bukan demokrasi bagi semua kelompok dalam masyarakat melainkan demokrasi bagi orang kulit putih belaka. Dengan demikian semula orang kulit hitam yang di kala itu diperbudak maupun kelompok kulit berwarna lain seperti orang Indian tidak menikmati hak-hak warga negara yang dinikmati orang kulit putih. Setelah perang Saudara di Amerika berakhir dengan kemenangan pasukan daerah Utara perbudakan orang kulit hitam memang dihapuskan tetapi kemudian digantikan dengan sistem diskriminasi ras yang bertujuan menegakkan kembali white supremacy yang digoyahkan oleh penghapusan perbudakan. v.d. Berghe mengidentifikasikan tiga macam kebijaksanaan yang pernah diterapkan di negara bagian Selatan Amerika untuk menegakkan keunggulan orang Kulit Putih. Salah satu diantaranya ialah kebijaksanaan mencabuti hak pilih (disfranchisement) orang Kulit Hitam. Kebijaksanaan lain yang pernah diterapkan di daerah Selatan ialah pemisahan warna kulit secara fisik—kebijaksanaan segregasi yang dikenal dengan nama Jim Crow. Orang yang warna kulitnya berlainan antara lain tidak diperkenankan beribadah, bekerja, bersekolah, makan, buang air, berpergian, bergaul bahkan dimakamkan bersama di satu tempat. Kebijaksanaan serupa pun masih dijumpai di Afrika Selatan dibawah nama apartheid (pemisahan). Menurut v.d. Berghe segregasi yang pernah diterapkan melalui sistem apartheid itu berlangsung pada jenjang makro, meso, dan mikro. Pada jenjang makro diterapkan pembedaan antara wilayah bagi kulit putih dan kulit hitam. Pada jenjang meso diterapkan pemisahan kekuasaan pemukiaman kelompok berbeda yang tinggal di wilayah yang sama. Pada jenjang mikro diterapkan pemisahan fisik antarkelompok yang mencakup larangan menikah, bergaul, berpergian, beribadah dsb.
Praktik ketiga yang menurut v.d. Berghe disuatu msa pernah diterapkan di daerah Selatan Amerika Serikat adalah kebiasaan di luar jalur hukum untuk menyebarkan rasa takut dalam bentuk teror terhadap orang Kulit Hitam, antara lain berupa intimidasi, penganiayaan dan praktik pembunuhan oleh massa yang dikenal dengan istilah lynching.


Diskriminasi Kelamin

Disamping rasisme kita menjumpai pula ideologi lain yang juga berusaha membenarkan diskriminasi terhadap kelompok lain atas dasar anggapan bahwa perbedaan yang dibawa sejak lahir terkait dengan status lebih rendah. Salah satu diantaranya adalah sexism. Sedangkan pengerian Diskriminasi kelamin adalah pembedaan sikap dan perlakuan terhadap manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Para penganut ideologi ini misalnya percaya bahwa dalam hal kecerdasan dan kekuatan fisik laki-laki melebihi perempuan, atau bahwa perempuan lebih emosional daripada laki-laki. Atas dasar ideologi ini dilakukan diskriminasi terhadap perempuan dalam hal pendidikan, pekerjaan dan jabatan.
Misalnya perempuan sering ditempatkan pada posisi yang kurang memerlukan kecerdasan dan
kekuatan fisik dan lebih menghendaki kecermatan dan emosi. Kita pun mendengar bahwa para
karyawati muda—terutama yang belum berkeluarga—sering mengalami godaan dan gangguan dari pihak atasan atau rekan laki-laki sekantor yang mengarah ke hubungan seks (pelecehan seks atau sexual harrassment). Dalam masyarakat kita masih menjumpai orang tua yang lebih mengutamakan pendidikan formal bagi anak laki-laki daripada anak perempuan mereka dengan mengemukakan bahwa pendidikan terlalu tinggi bagi anak perempuan tidak perlu karena akhirnya mereka akan menjadi ibu rumah tangga. Andaikata pun anak perempuan dibiayai pendidikan tingginya, orang tua pun masih sering merasa berhak menentukan jurusan yang dipilih putrinya. Tidak jarang anak perempuan yang ingin melanjutkan studi dibidang yang cenderung ditekuni laki-laki—seperti misalnya mate-matika, ilmu pengetahuan alam atau teknologi—terpaksa mengurungkan niatnya karena orang tua mereka mengarahkan mereka ke bidang yang menurut pilihan mereka lebih cocok dengan “kodrat perempuan”
seperti bisang pendidikan dan perguruan, kesejahteraan keluarga, kesekretariatan dan keperawatan. Dalam berbagai masyarakat perempuan tidak mempunyai hak pilih.

B. Usaha mengurangi/menghilangkan prasangka dan diskriminasi
1. Perbaikan kondisi sosial ekonomi
Pemerataan pembangunan dan usaha peningkatan pendapatan bagi warga negara Indonesia yang masih tergolong di bawah garis kemiskinan akan mengurangi adanya kesenjangankesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Melalui pelaksanaan-pelaksanaan programprogram pembangunan yang mantap dan didukung oelh lembaga-lembaga ekonomi pedesaan seperti BUUD dan KUD. Dengan begitu, prasangka-prasangka ketidakadilan dalam sektor perekonomian anatar kelompok ekonomi kuat dan kelompok ekonomi lemah sedikit banyak dapat dikurangi dan akhirnya akan sirna.
2. Perluasan kesempatan belajar
Usaha-usaha pemerintah dalam perluasan kesempatan belajar paling tidak dapat mengurangi prasangka bahwa program pendidikan, terutama pendidikan tinggi hanya dapat dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah dan kalangan atas. Sebaliknya, sungguh malang bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan otak dan modal. Mereka akan selalu tercecer dan tersisih dalam persaingan memperebutkan bangku sekolah. Dengan memberi kesempatan luas untuk mencapai tingkat pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali, prasangka dan perasaan tidak adil pada sektor pendidikan cepat atau lambat akan hilang lenyap.
3. Sikap terbuka dan sikap lapang
Kebhinekaan merupakan basis empuk bagi timbulnya prasangka, diskriminasi dan keresahan. Apalagi dalam suasana transasi masa satu asas, berbagai pengaruh dan kemungkinan itu tidak boleh diremehkan begitu saja. Idealisme paham mencanangkan persatuan dan kemerdekaan, telah menumbuhkan sikap kesepakatan, solidaritas dan loyalitas yang tinggi diharapkan akan berlanjut dengan sikap saling percaya, saling menghargai, menghormati dan menjauhkan diri dari sikap berprasangka akan muncul sikap terbuka, sikap lapang untuk menerima kritik, suatu makna dari perbedaan pendapat yang wajar dalam kemajemukan masyarakat Indonesia.

Daftar pustaka
Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi edisi kedua. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=196461
Soelaeman, Munandar M. 2000. Ilmu sosial dasar, teori dan konsep ilmu sosial. Bandung: refika
Aditama
Hartomo, H., Aziz Arnicun. 1990. MKDU ilmu sosial dasar. Jakarta: Bumi Aksara
http://medicare.blogspot.com/2007/01/diskriminasi.html
Drs. Soeharto. 1991. Tanya Jawab Sosiologi. Solo: Rineka Cipta
Ahmadi, Abu H. 1991. Ilmu Sosial Dasar edisi Revisi. Semarang: Rineka Cipta

Tidak ada komentar: